![]() |
Pak RT, Udung bersama Banyi di gubuk deritanya. (Ft. Idr) |
BOGOR - TRANSJURNAL.com - Di tengah deru pembangunan dan megahnya wajah Kabupaten Bogor yang terus digadang sebagai daerah istimewa dan berwibawa, masih ada cerita pilu yang nyaris luput dari perhatian.
Dia Adalah Banyi (33), perempuan penyandang tuna wicara yang hidup seorang diri di gubuk reyot di Kampung Gunung Haur, Desa Tanjungsari, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor.
Setiap hari, Banyi berjuang tanpa suara bukan karena enggan, tapi karena memang tak mampu berbicara. Dengan langkah pelan di antara rerumputan liar, ia menyusuri kebun demi kebun untuk mencari kembang harendong, bunga liar yang kemudian ia jual ke warung-warung desa.
Dari hasil itulah ia bertahan hidup dengan penghasilan yang hanya cukup untuk menanak nasi, tanpa tahu apakah besok masih bisa makan.
"Dia hidup sendiri di rumah peninggalan orang tuanya. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan, kalau hujan deras kami khawatir rumahnya roboh," ujar Udung, Ketua RT setempat, saat ditemui Senin (13/10/2025).
Menurut Eneng Siti Robiah, tetangga yang sering membantunya, Banyi adalah sosok kuat dan pantang menyerah. "Meskipun tidak bisa bicara, dia tetap berusaha sendiri. Kadang kalau bunga yang dijualnya tidak laku, dia hanya makan seadanya," tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Kisah Banyi menjadi potret nyata kesenjangan sosial di tengah geliat pembangunan Kabupaten Bogor. Ketika sebagian orang menikmati hasil modernisasi, masih ada warga seperti Banyi yang berjuang di antara sepi dan keterbatasan, menantikan secuil perhatian dari pemerintah.
Warga berharap Pemerintah Kabupaten Bogor segera turun tangan. "Kami berharap ada bantuan, rumah layak huni atau sekadar sembako. Kasihan, dia sendirian," kata Udung lagi.
Kondisi Banyi seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah daerah bahwa pembangunan bukan sekadar soal jalan dan gedung, tapi juga tentang manusia, tentang mereka yang tertinggal dan berjuang dalam diam.
Kini, masyarakat menanti langkah nyata dari Bupati Bogor dan dinas terkait untuk hadir langsung ke Tanjungsari. Sebab, bagi Banyi, sekadar atap kokoh dan perhatian kecil bisa jadi anugerah besar yang menyelamatkan hidupnya.
Semoga kisah ini menggugah hati mereka yang berkuasa dan mereka yang mampu, agar Banyi tak lagi menatap malam dari gubuk reyotnya, sendirian dalam gelap.
Laporan : Indrawan