Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kisah Pilu Dua Siswa Kakak Beradik di Bogor, Bergantian Seragam dan Sepatu untuk Bisa Sekolah

Sunday, 21 September 2025 | September 21, 2025 WIB Last Updated 2025-09-21T18:03:24Z


BOGOR - TRANSJURNAL.com -
Di sebuah kontrakan sempit di wilayah Parung, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, hidup dua kakak beradik yang setiap harinya harus berjuang demi bisa tetap bersekolah. Mereka adalah Haikal, siswa SMK, dan adiknya Haezar yang duduk di bangku SMP. Kehidupan keduanya jauh dari kata layak, namun semangat untuk tetap belajar tidak pernah padam.


Sejak ayah mereka meninggal dunia pada tahun 2020, keluarga kecil ini kehilangan penopang utama. Kini, Haikal dan Haezar tinggal bersama sang ibu yang sedang mengalami gangguan kejiwaan serta nenek yang sudah lanjut usia. Dengan segala keterbatasan, mereka harus membayar kontrakan Rp700 ribu per bulan, angka yang terbilang besar bagi keluarga tanpa penghasilan tetap.


Di tengah himpitan ekonomi, kebutuhan sekolah menjadi persoalan besar. Haikal dan Haezar tidak memiliki perlengkapan yang cukup untuk menunjang aktivitas belajar. Seragam dan sepatu, yang semestinya menjadi kebutuhan dasar seorang pelajar, justru harus mereka bagi bersama.


"Setiap Kamis, kalau ada kegiatan Pramuka, mereka harus bergantian pakai seragam dan sepatu. Karena yang ada cuma satu," tutur seorang warga, Liem Nyok, dengan nada prihatin.


Kondisi itu sudah berlangsung lama. Haikal dan Haezar harus saling mengalah, bergantian mengenakan pakaian dan alas kaki, demi bisa tetap ikut serta dalam kegiatan sekolah. Meski menyayat hati, keduanya menjalani hari-hari itu dengan tegar.


Menurut Liem Nyok, situasi keluarga ini benar-benar membutuhkan perhatian serius dari pemerintah daerah. "Pemerintah Kabupaten Bogor seharusnya turun tangan. Mereka butuh dukungan, bukan hanya soal biaya sekolah, tapi juga bantuan untuk kebutuhan hidup sehari-hari," ujarnya.


Potret Haikal dan Haezar menunjukkan betapa masih banyak anak Indonesia yang berjuang keras agar tetap bisa bersekolah. Sementara di satu sisi, ada anak-anak yang seragamnya menumpuk di lemari, di sisi lain ada saudara sebangsa yang bahkan hanya punya satu stel baju dan sepatu untuk dua orang.


Beban ekonomi semakin menekan keluarga sejak sang ayah tiada. Sang ibu yang mengalami gangguan kejiwaan tidak mampu bekerja, sementara sang nenek hanya bisa memberikan kasih sayang meski fisiknya sudah renta. Praktis, dua kakak beradik ini harus menghadapi hidup dengan segala keterbatasan, tanpa kepastian apakah esok mereka masih bisa memenuhi kebutuhan dasar.


Namun, di balik semua keterbatasan itu, semangat Haikal dan Haezar tetap menyala. Mereka masih rajin berangkat sekolah, meski dengan seragam lusuh dan sepatu bergantian. Mereka percaya bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari lingkaran kemiskinan yang kini menjerat keluarga.


Kisah keduanya kini mulai menyedot perhatian publik. Banyak yang menaruh simpati, berharap ada tangan-tangan baik yang mau membantu. Lembaga sosial, pemerintah daerah, hingga masyarakat luas didorong untuk bergotong royong memberikan uluran tangan.


'Kalau tidak ada kepedulian, masa depan mereka bisa terancam. Padahal mereka punya hak yang sama untuk hidup layak dan mendapatkan pendidikan," tambah Liem Nyok.


Cerita pilu Haikal dan Haezar menjadi pengingat bahwa di balik megahnya pembangunan, masih ada anak-anak bangsa yang berjuang dengan cara mereka sendiri agar bisa tetap belajar. Pemerintah daerah dan pusat diharapkan segera hadir, bukan hanya memberikan bantuan jangka pendek, tetapi juga solusi berkelanjutan agar keluarga ini bisa keluar dari jerat kemiskinan.


Haikal dan Haezar tidak butuh belas kasihan. Mereka hanya ingin kesempatan yang sama dengan anak-anak lain, kesempatan untuk bersekolah dengan tenang, mengenakan seragam yang layak, dan melangkah ke masa depan tanpa rasa minder. Kisah mereka adalah cermin bahwa pendidikan sejatinya adalah hak, bukan kemewahan.


Laporan : Indrawan 

×
Berita Terbaru Update