Foto sang Ayah dan M. Ariefal (dok.idr)
BOGOR - TRANSJURNAL.com - Di tengah gencarnya upaya pemerataan pendidikan di Jawa Barat, praktik tidak manusiawi masih terjadi. Dua bersaudara, M Ariefal (17) dan Mutiara Nur Azizah (15), terpaksa menghentikan pendidikan mereka selama dua tahun.
Penyebabnya, ijazah mereka ditahan oleh pihak SMP Citayam Plus, Kabupaten Bogor, dengan dalih tunggakan biaya sekolah senilai Rp 7.040.000.
Kisah ini menjadi potret buram dunia pendidikan, khususnya bagi keluarga berpenghasilan rendah. Orang tua Ariefal dan Mutiara bekerja serabutan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Membayar tagihan pendidikan sebesar tujuh juta lebih adalah kemustahilan.
"Kami sudah coba pinjam ke sana-sini, tapi tetap nggak bisa. Kami cuma buruh harian," ujar sang Ayah saat ditemui awak media, Jumat (23/5/2025).
Menurutnya, Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi, telah mengeluarkan kebijakan tegas pada awal 2025 yang melarang penahanan ijazah karena alasan administrasi.
Namun, kata dia, fakta di lapangan berkata lain. SMP Citayam Plus tetap bersikukuh tidak akan menyerahkan ijazah sebelum tunggakan dilunasi, menolak tawaran cicilan ataupun negosiasi.
Sementara itu, dari awak media prihatin atas kejadian ini dan berupaya menjembatani dialog antara orang tua siswa dan pihak sekolah. Namun hasilnya nihil. Sekolah berdalih terikat oleh 'aturan internal".
"Ini bukan hanya persoalan tunggakan. Ini tentang hak anak atas masa depan. Menahan ijazah berarti menyandera harapan mereka," tegas Nyok dari salah satu Media Online.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa, Ariefal seharusnya sudah duduk di bangku kelas 2 SMA, sementara adiknya seharusnya menyelesaikan SMP tahun ini.
"Namun karena ijazah tak kunjung bisa diambil, keduanya kini tidak bisa melanjutkan pendidikan" jelasnya.
Terpisah, sang ibu pun turut berkomentar bahwa, mereka kini menggantungkan harapan besar kepada Gubernur Dedi Mulyadi dan Bupati Bogor Rudy Susmanto.
"Kami mohon pemerintah turun tangan. Berikan kami jalan. Setidaknya buatkan skema cicilan atau bantuan. Anak-anak kami ingin sekolah, bukan menyerah pada kemiskinan," ungkap sang ibu dengan mata berkaca-kaca.
Penahanan ijazah oleh sekolah terhadap siswa miskin bukan hanya melanggar aturan, tapi juga menanamkan luka sosial dan memperlebar jurang ketimpangan. Ketika uang dijadikan syarat, pendidikan pun berubah dari hak menjadi barang dagangan.
Laporan : Indrawan