KOLTIM - TRANSJURNAL.com - Analis Hukum Pertanahan, Alfandi Satrio, S.H., mengulas posisi saksi independen dalam Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT), salah satu dokumen penting dalam permohonan pendaftaran tanah.
Salah satu poin krusial yang sering menjadi pertanyaan publik adalah: bolehkah saksi yang menandatangani surat tersebut memiliki hubungan keluarga dengan pemohon?
Alfandi menjelaskan, aturan perundang-undangan secara jelas mewajibkan saksi tidak memiliki hubungan keluarga dengan pemohon.
Ketentuan ini berkaitan dengan objektivitas pembuktian penguasaan fisik tanah yang menjadi syarat utama dalam penerbitan sertipikat.
Dalam proses permohonan Hak Pengelolaan maupun Hak Atas Tanah, pemohon wajib membuktikan penguasaan tanah melalui Data Fisik dan Data Yuridis sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Permen ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021.
Ketentuan ini sejalan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 24 ayat (1) menegaskan bahwa pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama harus dibuktikan dengan alat bukti tertulis mengenai adanya hak tersebut. Apabila alat bukti tertulis tidak tersedia atau tidak lengkap, Pasal 24 ayat (2) memberikan ruang pembuktian melalui penguasaan fisik bidang tanah selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut, dengan syarat:
a. Penguasaan dilakukan dengan itikad baik;
b. Diperkuat oleh keterangan saksi yang dapat dipercaya;
c. Diakui masyarakat dan atau pemerintah setempat, dan;
d. Tanah tidak dalam sengketa.
Salah satu dokumen penting yang wajib dilampirkan adalah SPPFBT. Di dalamnya, terdapat kewajiban menghadirkan dua saksi dari lingkungan setempat yang mengetahui riwayat tanah dan tidak memiliki hubungan keluarga dengan pemohon.
"Ini bukan sekadar aturan administratif, tetapi bagian dari prinsip pembuktian yang sehat," jelas Alfandi dalam ulasannya.
Ia merujuk pada Permen ATR/BPN 18/2021 Pasal 25 menegaskan bahwa pemohon bertanggung jawab secara perdata dan pidana atas keabsahan serta kebenaran materiil berkas permohonan, termasuk Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah yang diajukan.
Lebih lanjut, Pasal 14 ayat (3) huruf a yang secara tegas mengatur kriteria saksi. Selain independen, saksi juga harus mengetahui riwayat penguasaan tanah dan disahkan oleh kepala desa atau lurah.
Larangan saksi keluarga juga sejalan dengan prinsip hukum acara. Pasal 168 KUHAP dan Pasal 172 ayat (1) RBg menyatakan bahwa saksi yang memiliki hubungan keluarga dengan pihak berkepentingan tidak dapat memberikan kesaksian.
Hal yang sama ditegaskan Pasal 1910 KUHPerdata yang menyebut bahwa keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus, termasuk suami maupun istri, dianggap tidak cakap sebagai saksi.
Menurut Alfandi, seluruh ketentuan tersebut memperlihatkan satu garis tegas: saksi dalam pernyataan penguasaan tanah harus benar-benar independen. Tujuannya menjaga objektivitas, memastikan validitas keterangan, serta menghindari potensi konflik kepentingan.
"Independensi saksi penting untuk menjamin kebenaran materiil dan pertanggungjawaban hukum terhadap pernyataan pemohon," tegasnya.
Dengan demikian, ia menegaskan bahwa penggunaan saksi dari pihak keluarga bukan hanya tidak dianjurkan, tetapi jelas tidak diperbolehkan oleh peraturan yang berlaku.
Editor Redaksi
