Oleh : Ir. Ilmiawan, S.T., M.Eng., IPM., ASEAN Eng. Anggota Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) Komisariat Provinsi Jawa Barat.
![]() |
| Tugu Perbatasan yang dibangun Pemerintah Buton Selatan di Pulau Kawikawia. (Ft.ist) |
NASIONAL - TRANSJURNAL.com - Sengketa batas wilayah di Indonesia kerap muncul pada kawasan pulau-pulau kecil yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan. Selain polemik empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara beberapa waktu lalu, persoalan serupa sebenarnya telah lebih lama berlangsung di bagian selatan Teluk Bone. Hingga kini, sengketa mengenai Pulau Kawikawia—yang juga dikenal sebagai Pulau Kakabia—belum memperoleh keputusan final dari pemerintah pusat.
Pulau kecil yang tidak berpenghuni tersebut berada di sisi selatan Pulau Sulawesi. Meskipun tidak memiliki potensi sumber daya tambang seperti nikel atau gas, pulau ini memiliki nilai ekologis penting karena menjadi habitat burung-burung endemik berwarna hitam-putih yang sering terlihat berkelompok pada pagi dan sore hari. Karakteristik ini bahkan membuka peluang untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata berbasis konservasi.
Dalam perkembangan tata kelola wilayah, Pulau Kawikawia menjadi objek klaim dua provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Sulawesi Selatan. Perbedaan penafsiran terhadap dasar hukum dan batas administratif membuat penyelesaian sengketa ini berlarut-larut, serta menimbulkan ketidakpastian dalam perencanaan RTRW Pemerintah Kabupaten Buton Selatan dan Revisi RTRW Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sengketa kewilayahan Pulau Kawikawia antara Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tenggara telah berlangsung lebih dari satu dekade dan memberikan dampak signifikan terhadap perencanaan tata ruang, administrasi pemerintahan, serta kepastian hukum batas wilayah. Artikel ini menguraikan posisi hukum kedua provinsi melalui analisis regulasi, hirarki peraturan perundang-undangan, serta kajian kartografi batas, khususnya terkait penerapan authoritative legal map pada peta lampiran UndangUndang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan.
Pembelajaran dari penyelesaian sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara dijadikan rujukan pembanding untuk menegaskan pentingnya dokumen kartografis yang bersifat otoritatif dalam menentukan batas wilayah. Analisis menunjukkan bahwa peta lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat dibandingkan regulasi setingkat kementerian, sehingga memberikan dasar legitimasi yang lebih besar bagi klaim Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara atas Pulau Kawikawia.
Letak Pulau Kawikawia yang berada di tengah perairan Laut Banda menjadikannya memiliki posisi strategis, baik dari sudut pandang administrasi pemerintahan maupun penataan ruang wilayah. Kondisi geografis tersebut mendorong dua daerah—Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Kepulauan Selayar di Provinsi Sulawesi Selatan—untuk sama-sama memasukkan Pulau Kawikawia ke dalam dokumen perencanaan tata ruang masing-masing.
![]() |
| Hasil foto udara Pulau Kawikawia. |
Dualitas klaim ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak langsung pada proses penyusunan dan penetapan Revisi RTRW. Bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, ketidakpastian status kewilayahan Pulau Kawikawia menjadi hambatan utama yang menyebabkan revisi RTRW tidak dapat diselesaikan sebelum ada penegasan batas wilayah yang sah secara normatif. Dengan demikian, kepastian status Pulau Kawikawia bukan hanya menjadi isu territorial, tetapi juga faktor determinan dalam kelancaran perencanaan pembangunan dan pengelolaan ruang di kawasan tersebut.
Ironisnya, pada saat yang sama Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah berhasil menetapkan Revisi RTRW melalui Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2022–2041, meskipun status hukum Pulau Kawikawia belum memperoleh kepastian di tingkat pemerintah pusat. Peraturan daerah tersebut bahkan secara tegas mencantumkan “Pulau Kakabia/Kawikawia” sebagai bagian dari Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) huruf (w). Pencantuman ini menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tetap menerapkan dasar kewenangan spasial atas pulau tersebut dengan merujuk pada Perda RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2022–2041 serta Permendagri Nomor 45 Tahun 2011.
Akar persoalan kewilayahan Pulau Kawikawia dapat ditelusuri melalui keberlakuan dua regulasi yang memuat ketentuan berbeda. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mendasarkan klaimnya pada Permendagri Nomor 45 Tahun 2011 yang menetapkan Pulau Kakabia/Kawikawia sebagai bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar. Namun, terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan mengubah konfigurasi hukum tersebut. Melalui lampiran batas wilayah yang bersifat integral dengan undang-undang, Pulau Kawikawia dinyatakan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Buton Selatan.
Ketidaksinkronan antara ketentuan dalam peraturan menteri dan aturan pada tingkat undang-undang inilah yang menjadi sumber utama perselisihan berkepanjangan. Secara normatif, peraturan pada tingkat undang-undang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga kontradiksi tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai legalitas rujukan yang digunakan masing-masing pihak dalam mengklaim kewenangan atas Pulau Kawikawia.
Pada Rapat Koordinasi Lintas Sektor Terbatas terkait pembahasan perubahan muatan substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang RTRW Provinsi Sulawesi Selatan pada 12 November 2021, Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Toponimi dan Batas Daerah, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, menyampaikan bahwa status Pulau Kakabia/Kawikawia yang diklaim sebagai bagian dari Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan, tetap merujuk pada ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2011.
Terkait Peta Lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan, Kementerian Dalam Negeri telah melakukan koordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG). Hasil penelusuran dan pengkajian BIG menyimpulkan bahwa pada titik koordinat yang tercantum dalam lampiran undang-undang tersebut tidak ditemukan objek fisik berupa daratan pulau. Lokasi yang digambarkan dalam peta lampiran tersebut terbaca sebagai area perairan laut tanpa adanya pulau.
Temuan teknis kartografis inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ATR/BPN, serta Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk tidak menjadikan peta lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 sebagai rujukan utama dalam menentukan status kewilayahan Pulau Kawikawia. Sebaliknya, ketiga institusi tersebut lebih memilih kembali mengacu pada Permendagri Nomor 45 Tahun 2011, yang menetapkan Pulau Kakabia/Kawikawia sebagai bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar.
Pendekatan tersebut menimbulkan persoalan dari perspektif hierarki peraturan perundang-undangan. Secara asas hukum, Undang-Undang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Peraturan Menteri, sebagaimana ditegaskan dalam asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan di bawahnya. Selain itu, Undang-Undang yang terbit kemudian—dalam hal ini Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014—secara prinsip mengesampingkan peraturan yang lebih lama, sesuai asas lex posterior derogat legi priori.
Dengan demikian, preferensi institusi pemerintah terhadap Permendagri Nomor 45 Tahun 2011, meskipun terdapat Undang-Undang yang lebih baru dan lebih tinggi tingkatannya, telah melahirkan ketidakkonsistenan dalam penegakan asas-asas fundamental hukum tata negara. Ketidakkonsistenan ini turut memperpanjang ketidakpastian status kewilayahan Pulau Kawikawia serta menghambat penyelesaian sengketa antarprovinsi secara definitif.
Terkait terjadinya deviasi titik koordinat Pulau Kawikawia pada Peta Lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014, perlu ditegaskan bahwa persoalan tersebut telah diklarifikasi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Berdasarkan hasil asistensi Pemerintah Kabupaten Buton Selatan ke BIG pada tanggal 15 Desember 2020, serta pembahasan dalam rapat koordinasi melalui video conference pada 23 September 2020 (rekaman tersimpan dalam Arsip Sekretariat Daerah Kabupaten Buton Selatan), BIG menyatakan adanya kekeliruan teknis dalam penentuan titik koordinat Pulau Kawikawia pada peta lampiran undang-undang tersebut.
BIG menegaskan bahwa Peta Pembentukan Kabupaten Buton Selatan merupakan peta cakupan wilayah administratif, bukan peta yang berfungsi untuk penetapan posisi geospasial satuan-satuan ruang secara presisi. Dengan demikian, kendati terdapat kesalahan teknis dalam penggambaran, hal tersebut tidak menghapus fakta hukum bahwa Pulau Kawikawia tetap merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Buton Selatan sebagaimana termuat dalam lampiran undang-undang sebagai authoritative legal map.
Penjelasan ini memperkuat bahwa kekeliruan teknis kartografis tidak dapat dijadikan dasar untuk menafikan kedudukan hukum peta lampiran undang-undang, mengingat secara prinsipil peta tersebut adalah bagian integral dari norma undang-undang dan memiliki kedudukan hierarkis yang lebih tinggi dibandingkan peraturan menteri.
Terjadinya deviasi titik koordinat Pulau Kawikawia dalam Peta Lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan telah dikaji secara teknis oleh Ilmiawan, Tenaga Ahli Geospasial Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang juga merupakan anggota Asosiasi Profesi Ikatan Surveyor Indonesia. Kajian tersebut menjelaskan berbagai faktor kartografis yang berpotensi menimbulkan pergeseran posisi, antara lain ketelitian geometris, sistem referensi geospasial, generalisasi peta, serta keterbatasan skala yang digunakan dalam penyusunan peta undang-undang. Penjelasan teknis ini memberikan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai penyebab deviasi koordinat tersebut, sekaligus menegaskan bahwa ketidaktepatan posisi geometris tidak mengurangi keabsahan normatif maupun legalitas wilayah administratif sebagaimana ditetapkan dalam Peta Lampiran Undang-Undang. Dengan demikian, peta tersebut tetap berkedudukan sebagai authoritative legal map yang bersifat mengikat dan tidak dapat dikesampingkan oleh regulasi di bawahnya.
Ilmiawan menyatakan bahwa pergeseran posisi Pulau Kawikawia dalam Peta Lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 merupakan fenomena kartografis yang dapat dijelaskan secara ilmiah melalui teori generalisasi, penggunaan skala kecil, tingkat ketelitian peta, serta komposisi kartografis. Fenomena tersebut, menurutnya, dapat dijustifikasi secara normatif berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017. Oleh karena itu, secara legal, peta tersebut tetap sah sebagai instrumen penentu cakupan wilayah Kabupaten Buton Selatan karena fungsi utamanya adalah representasi administratif, bukan ketepatan koordinat geografis. Dengan demikian, Pulau Kawikawia secara hukum tetap menjadi bagian dari Kabupaten Buton Selatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014.
Lebih lanjut, Ilmiawan menegaskan bahwa Peta Lampiran Undang-Undang merupakan dokumen spasial yang bersifat mengikat (legally binding spatial document) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 serta Pasal 10–11 PP Nomor 78 Tahun 2007. Oleh sebab itu, setiap elemen spasial dalam peta lampiran undang-undang—termasuk toponimi Pulau Kawikawia—memiliki legitimasi hukum tetap, terlepas dari tingkat ketelitian geometrisnya.
Peta Lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 menggunakan skala kecil 1:750.000, yang secara prinsip kartografi hanya memungkinkan penyajian bersifat tematik-administratif, bukan peta geodetik dengan presisi tinggi. Karena itu, deviasi koordinat tidak dapat dijadikan dasar untuk membatalkan atau meragukan penetapan status administratif yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Kesalahan yang terjadi pun tidak bersifat substantif, melainkan merupakan non-legal technical error atau kesalahan teknis kartografis yang timbul akibat keterbatasan skala peta dan pengaturan komposisi pada media cetak (kertas F4). Dalam perspektif hukum administrasi, kesalahan teknis seperti ini: tidak membatalkan norma undang-undang, tidak mengubah status kewilayahan, dan tidak menurunkan keabsahan administratif Pulau Kawikawia sebagai bagian dari Kabupaten Buton Selatan.
Sebagai penutup analisisnya, Ilmiawan menyampaikan bahwa apabila keberatan diarahkan pada ketidaktepatan koordinat Pulau Kawikawia dalam peta lampiran undang-undang, maka koreksi seharusnya dilakukan secara menyeluruh terhadap semua unsur peta. Hasil rektifikasi menunjukkan bahwa bukan hanya Pulau Kawikawia yang mengalami pergeseran, tetapi Pulau Batuatas juga tampak tidak berada pada posisi geografis sebenarnya. Namun demikian, sebagian besar unsur lain—seperti Pulau Siompu, Pulau Liwutongkidi, Pulau Kadatua, dan wilayah selatan Pulau Buton—tergambar dengan benar. Mengingat ukuran Pulau Kawikawia dan Pulau Batuatas relatif sangat kecil dibandingkan luas wilayah Kabupaten Buton Selatan, ketidaktepatan geometris tersebut tidak mempengaruhi konfigurasi spasial wilayah secara keseluruhan. Hal ini juga sejalan dengan prinsip kartografi pada peta skala kecil yang lebih menekankan representasi legal wilayah dibandingkan ketelitian koordinat detail.
Dengan demikian, pergeseran posisi Pulau Kawikawia dalam Peta Lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tidak dapat dianggap sebagai cacat hukum, tetapi merupakan konsekuensi umum dari proses generalisasi kartografis pada peta skala kecil. Penyimpangan tersebut tidak memengaruhi keabsahan yuridis Pulau Kawikawia sebagai bagian dari Kabupaten Buton Selatan. Secara hukum, kedudukan Pulau Kawikawia dalam peta lampiran undang-undang bersifat final, mengikat, dan tetap sah menjadi dasar penegasan batas daerah.
Dokumen lengkap “Kajian Pemenuhan Kaidah Kartografi pada Peta Lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 Terkait Posisi Koordinat Pulau Kawikawia” yang disusun oleh Tenaga Ahli Geospasial Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dapat diunduh melalui tautan berikut: https://drive.google.com/drive/folders/1oNZT4wzLi2-CL9F-HFFy0ivZ_aC9jIAe?usp=sharing
Perebutan Pulau Kakabia/Kawikawia mulai mencuat pada tahun 2018 ketika Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan, mengajukan permohonan judicial review terhadap UndangUndang Nomor 16 Tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui Putusan Nomor 24/PUU-XVI/2018, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan Pemohon I atas nama Muh. Basli Ali (Bupati Kepulauan Selayar) dan Pemohon II atas nama Mappatunru (Ketua DPRD Kepulauan Selayar) tidak dapat diterima. Putusan tersebut bersifat final dan mengikat, sehingga menegaskan bahwa keberatan terhadap keberadaan Pulau Kawikawia dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tidak dapat lagi diproses melalui mekanisme pengujian undang-undang.
Pada perkembangan berikutnya, persoalan semakin kompleks dengan terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau Tahun 2022. Dalam lampiran keputusan tersebut, Pulau Kakabia/Kawikawia dengan Kode 73.01.40123 tercantum sebagai bagian dari wilayah administrasi
Kabupaten Kepulauan Selayar. Penetapan ini memperlebar ketidaksinkronan data antarinstansi pemerintah pusat, sekaligus memperkuat dualisme rujukan antara regulasi kementerian dan ketentuan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Situasi tersebut memperlihatkan kemiripan pola dengan polemik empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara yang kembali mengemuka setelah Kementerian Dalam Negeri menerbitkan keputusan penetapan status kewilayahan pada April 2025. Penetapan tersebut memicu respons publik yang luas, khususnya di Aceh, sehingga mendorong pemerintah pusat untuk melakukan peninjauan ulang melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga.
Pada 17 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto menetapkan bahwa keempat pulau dimaksud—termasuk Pulau Lipan—secara sah menjadi bagian dari Provinsi Aceh. Keputusan ini diambil setelah ditemukannya arsip asli Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 1992, serta dilakukan verifikasi historis yang komprehensif dan pengujian kembali terhadap kesepakatan administratif yang pernah disepakati sebelumnya.
Kasus empat pulau tersebut memberikan pelajaran penting bahwa penyelesaian sengketa batas daerah tidak dapat hanya bergantung pada satu sumber regulasi atau keputusan administratif semata. Validasi data historis, konsistensi regulasi, serta penelaahan ulang terhadap peta batas resmi (authoritative legal map) merupakan elemen yang harus dipenuhi agar keputusan kewilayahan memiliki legitimasi yang kuat dan menghindarkan terjadinya konflik administratif yang berkepanjangan.
Permasalahan Pulau Kawi-Kawia memiliki kemiripan dengan kasus sengketa empat pulau di perbatasan Aceh–Sumatera Utara, yakni adanya tumpang-tindih dokumen hukum, perbedaan penafsiran antar pemerintah daerah, serta belum tersedianya peta batas otoritatif yang disepakati bersama. Salah satu dokumen historis penting yang menguatkan klaim Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara atas Pulau Kawikawia adalah ditemukannya arsip autentik berupa Surat Keputusan Pemerintah Swapradja Buton tanggal 3 April 1956. Dokumen tersebut berisi “pemberian izin/kekuasaan kepada saudara La Ode Ampo untuk mengusahakan dan mengambil pupuk (zeemeuw-mest) di Kawi-Kawia, Distrik Sampolawa, yang luasnya masing-masing 60 hektar untuk diperdagangkan. Tempat tersebut terletak di sebelah selatan Distrik Sampolawa dan dikelilingi Laut Flores, serta penguasaan atas pulau itu dikenakan susung romang/retribusi sesuai peraturan kami (zelfbestuurs-regeling) Pasal 16 Tahun 1938 Nomor 529 tentang pemanfaatan tanah untuk perusahaan dalam wilayah Pemerintah Swapraja Buton.”
Surat keputusan tersebut ditandatangani oleh Sultan La Ode Falihi selaku Pemerintah Swapradja Buton dengan cap Garuda, diketahui oleh Kepala Pemerintahan Negeri Buton dengan cap Garuda, serta disahkan pada 4 Oktober 1956 melalui Surat Nomor Agr.8/5/15 oleh Ketua Dewan Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara, Moh. Amin Dg. Soero, lengkap dengan cap dan tanda tangan jabatan. Dokumen tersebut juga ditembuskan kepada: Kepala Kantor Inspeksi Agraria Provinsi Sulawesi di Makassar, Kepala Daerah Sulawesi Tenggara di Bau-Bau, dan Kepala Distrik Sampolawa di Mambulu.
Catatan historis ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, Pulau Kawikawia telah diadministrasikan oleh Pemerintah Swapraja Buton jauh sebelum terbentuknya Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan dalam struktur modern. Kedua, keterangan luas pulau sebesar ±60 hektar dalam dokumen tahun 1956 selaras dengan hasil rektifikasi citra geospasial saat ini. Selain itu, deskripsi lokasional “di sebelah selatan Distrik Sampolawa dan dikelilingi Laut Flores” juga konsisten dengan posisi geografis pulau tersebut pada peta kontemporer. Dengan demikian, dokumen autentik tahun 1956 ini menjadi bukti administratif dan historis penting dalam memperkuat dasar klaim Provinsi Sulawesi Tenggara terhadap Pulau Kawikawia.(Salinan hasil pemindaian dokumen dapat diunduh pada tautan berikut: https://drive.google.com/drive/folders/1oNZT4wzLi2-CL9F-HFFy0ivZ_aC9jIAe?usp=sharing)
![]() |
| Dokumen otentik Pemerintah Swapradja Buton Tahun 1956 atas penguasaan Pulau Kawikawia. |
Selain dokumen otentik Pemerintah Swapradja Buton, sebelum terbitnya Permendagri Nomor 45 Tahun 2011 terdapat pula bukti pendukung yang bersumber dari data spasial resmi negara. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Lembar 2209 BUKI yang diterbitkan oleh BAKOSURTANAL pada tahun 1997 secara jelas memuat Pulau Kakabia/Kawikawia sebagai bagian dari wilayah administrasi Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Representasi tersebut menunjukkan bahwa secara historis maupun secara kartografis, Pulau Kawikawia telah terdaftar dalam sistem informasi geospasial nasional sebagai bagian dari wilayah Sulawesi Tenggara jauh sebelum lahirnya Permendagri 45 Tahun 2011 yang kemudian menjadi dasar klaim Provinsi Sulawesi Selatan.
Keberadaan Peta RBI Tahun 1997 ini penting karena peta tersebut merupakan produk pemetaan dasar resmi negara yang digunakan sebagai rujukan dalam perencanaan, survei, dan penetapan batas wilayah sebelum berlakunya regulasi-regulasi terbaru. Dengan demikian, peta tersebut memperkuat legitimasi historis dan administratif posisi Sulawesi Tenggara dalam sengketa Pulau Kawikawia, sekaligus memperlihatkan kesinambungan data geospasial yang menempatkan pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Buton. Dokumen Peta RBI tersebut dapat diunduh melalui tautan berikut:https://drive.google.com/drive/folders/1oNZT4wzLi2-CL9F-HFFy0ivZ_aC9jIAe?usp=sharing
Berdasarkan kedua dokumen otentik tersebut—yang secara kronologis maupun hierarkis terbit lebih dahulu dibandingkan Permendagri Nomor 14 Tahun 2011—dapat ditegaskan bahwa posisi klaim Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki landasan legal-historis yang lebih kuat. Argumentasi ini selaras dengan pola penyelesaian sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, di mana Presiden pada akhirnya menetapkan keputusan yang menguatkan Aceh dan sekaligus membatalkan Keputusan Menteri Dalam Negeri sebelumnya yang sempat menetapkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Sumatera Utara.
Kasus Aceh–Sumut menunjukkan bahwa ketika terdapat pertentangan antara dokumen administratif belakangan dengan dokumen hukum awal yang bersifat otentik—terutama yang memuat data historis, bukti legal primer, serta peta resmi pada masa pembentukan daerah—maka dokumen yang lebih awal dan lebih tinggi kedudukannya harus didahulukan. Prinsip tersebut menegaskan bahwa bukti historis yang telah diakui negara melalui instrumen hukum formal memiliki daya pembuktian lebih kuat dibandingkan keputusan administratif yang terbit kemudian.
Dengan demikian, pendekatan yang sama secara rasional dan konstitusional dapat diterapkan dalam penyelesaian sengketa Pulau Kawikawia. Dokumen otentik mengenai penguasaan dan pemanfaatan Pulau Kawikawia oleh Pemerintah Swapradja Buton tahun 1956, serta Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) tahun 1997 yang menunjukkan pulau tersebut berada dalam administrasi Kabupaten Buton, merupakan bentuk authoritative legal evidence yang seharusnya menjadi dasar utama dalam penetapan kewenangan wilayah. Oleh karena itu, bukti-bukti historis tersebut memperkuat legitimasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara atas Pulau Kawikawia secara hukum, administrasi, maupun kartografis.
Selain dua dokumen otentik tersebut, validasi tambahan mengenai posisi administratif Pulau Kawikawia/Kakabia juga dapat ditelusuri melalui berbagai geoportal kementerian dan lembaga pemerintah. Sejumlah platform resmi menunjukkan bahwa pulau tersebut telah ditempatkan dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara. Indikasi ini terlihat, antara lain, pada geoportal Kementerian ATR/BPN melalui link : https://bhumi.atrbpn.go.id, geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui link :https://geoportal.esdm.go.id/migas/, serta geoportal Perpustakaan Nasional Republik Indonesia melalui link : https://geoportal.perpusnas.go.id/maps/181/view#/. Konsistensi penempatan Pulau Kawikawia/Kakabia pada berbagai basis data spasial pemerintah ini memperkuat argumentasi bahwa pengenaan administrasi pulau tersebut oleh Provinsi Sulawesi Tenggara bukan hanya memiliki dasar historis dan yuridis, tetapi juga memperoleh pengakuan teknokratis dari sejumlah instansi pusat melalui sistem informasi geospasial resmi.
Dalam konteks penyelesaian sengketa Pulau Kawi-Kawia, pemerintah pusat memegang peran strategis sebagaimana pernah dilakukan dalam kasus Aceh–Sumatera Utara, ketika Presiden menetapkan keputusan final berdasarkan dokumen historis yang paling otoritatif. Pendekatan serupa menjadi relevan mengingat adanya bukti legal-historis yang kuat, konsistensi berbagai geoportal kementerian, serta kebutuhan harmonisasi kebijakan agar tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam kerangka itu, pemerintah perlu mempertimbangkan pencabutan Permendagri Nomor 45 Tahun 2011 agar tidak terus bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 sekaligus memastikan kepastian hukum bagi daerah.
Penyelesaian isu ini tidak semata-mata merupakan langkah administratif, tetapi juga dapat dipahami sebagai momentum strategis bagi negara untuk menunjukkan penghargaan terhadap Kesultanan Buton, yang secara sukarela memilih bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita kerap mengagungkan narasi besar tentang persatuan Indonesia, tetapi mudah melupakan bahwa di balik berdirinya republik ini terdapat keputusan-keputusan berani dari kerajaan-kerajaan Nusantara yang memilih bergabung tanpa paksaan, termasuk Kesultanan Buton. Sejarah mencatat, pada tahun 1950 Presiden Soekarno memulai pertemuan di Malino, Sulawesi Selatan, untuk membahas integrasi wilayahwilayah swapradja di luar Jawa ke dalam NKRI. Di forum inilah Sultan La Ode Muhammad Falihi menyatakan secara resmi bahwa Kesultanan Buton bergabung dengan Indonesia. Keputusan itu bukan tindakan simbolik; ia lahir dari kesadaran politik dan komitmen kuat untuk ikut membangun sebuah negara muda yang bernama Republik Indonesia. Sikap sukarela ini adalah modal sosial dan politik yang tak ternilai—dan seharusnya dirawat, bukan diabaikan. Kini, ketika negara menyelesaikan persoalan terkait Buton, saatnya bagi kita untuk melihat kembali peran historis tersebut. Mengakui kontribusi dan pilihan masa lalu Kesultanan Buton bukan hanya soal mengingat sejarah—tetapi soal membangun hubungan yang lebih adil antara negara dan daerah. Penghargaan itu penting agar semangat persatuan tidak hanya hadir dalam slogan, tetapi juga dalam tindakan nyata yang menghormati martabat dan peran setiap daerah yang ikut mendirikan republik ini.
Dengan mempertimbangkan nilai historis tersebut, penyelesaian sengketa Pulau Kawi-Kawia tidak hanya menjadi persoalan batas wilayah, tetapi juga ruang bagi negara untuk menegaskan komitmen penghormatan terhadap sejarah integrasi daerah, memperkuat persatuan nasional, dan mengapresiasi peran Kesultanan Buton dalam perjalanan pembentukan NKRI. Oleh karena itu, keterlibatan aktif pemerintah pusat menjadi sangat diperlukan agar keputusan akhir yang diambil tidak hanya sah secara hukum dan valid secara geospasial, tetapi juga adil, berkeadilan historis, serta mencerminkan penghargaan negara terhadap daerah yang telah berkontribusi sejak awal berdirinya republik.
Publisher Redaksi




